Safinatun Najah: Hukum Air, Sunnah yang Menyebabkan Mandi dan Caranya

Terjemahan Safinatun Najah

MuhammadAntariksa.com – Kitab Safinatun Najah Hukum Air, Hal-hal sunnah yang menyebabkan mandi, rukun mandi dan caranya

Hukum Air

المَاءُ قَلِيْلٌ وَكَثِيْرٌ.
فَالْقَلِيْلُ: مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ.
وَالْكَثِيْرُ: قُلَّتَانِ فَأكْثَرُ.
وَالقَلِيْلُ: يَتَنَجَّسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ فِيْهِ، وَإِن لَمْ  يَتَغَيَّرْ.
وَالْمَاءُ الْكَثِيْرُ: لاَ يَتَنَجَّسُ إِلاَّ إذا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، أوْ رِيْحُهُ.

[box type=”note” align=”” class=”” width=””]Fasal: Air sedikit dan banyak. Air sedikit itu jika kurang dari dua kulah dan air banyak jika telah mencapai dua kulah atau lebih. Air sedikit menjadi najis dengan jatuhnya benda najis ke dalamnya meskipun tidak berubah. Sementara air banyak tidak menjadi najis dengan jatuhnya benda najis ke dalamnya kecuali jika berubah rasanya, warnanya, atau aromanya.[/box]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

Jika air telah mencapai dua qullah, tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 424. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Faedah:

[tie_list type=”lightbulb”]

  • Air itu ada dua macam, yaitu air qolil (sedikit) dan air katsir (banyak). Patokannya adalah air dua qullah.
  • Ukuran dua qullah itu air seukuran kurang lebih 500 rithl Baghdadiyyah, mendekati 200 Liter (1 m x 1 m x 20 cm).
  • Air sedikit adalah air yang kurang dari dua qullah.
  • Air banyak adalah air yang telah mencapai dua qullah atau lebih dari itu.

[/tie_list]

Hukum fikih

[tie_list type=”lightbulb”]

  • Air sedikit menjadi najis dengan sekadar mulaaqoh (bertemu) najis, walau air tersebut tidak berubah.
  • Air banyak menjadi najis hanyalah jika terjadi perubahan rasa, warna, atau bau karena kemasukan najis.

[/tie_list]

Yang Mewajibkan Mandi

مُوْجِبَاتُ الْغُسْلِ سِتَّةٌ:
1- إِيْلاَجُ الْحَشَفَةِ فِيْ الْفَرْجِ.
2- خُرُوُجُ الْمَنيِّ
3- الْحَيْضُ
4- النَّفَاسُ
5- الْوِلاَدَةُ
6- الْمَوْتُ.

[box type=”info” align=”” class=”” width=””]Fasal: Yang mewajibkan mandi ada 6 hal, yaitu [1] masuknya hasyafah (kuncup dzakar) ke farji (vagina), [2] keluarnya mani, [3] haidh, [4] nifas, [5] melahirkan, dan [6] meninggal.[/box]

Faedah:

  • Al-Ghuslu (mandi) adalah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niatan yang khusus.

Sebab yang menyebabkan mandi wajib:

  • Masuknya hasyafah (kuncup dzakar) ke farji (vagina), walau tidak keluar mani.
  • Keluarnya mani

Ciri mani

  1. Cairan putih
  2. Tebal (kental)
  3. Tadaffuq ketika keluar, yaitu keluar duf’atan ba’da duf’atin, yaitu satu curahan dan satu curahan lagi
  4. Keluar dengan syahwat (yang kuat)
  5. Keluar dengan nikmat
  6. Membuat lemas ketika keluar
  7. Baunya khas, ketika basah seperti bau adonan tepung, ketika kering seperti bau putih telur ayam

Mani yang menyebabkan wajib mandi

  1. Keluar dengan syahwat dan membuat lemas
  2. Baunya menyerupai bau adonan tepung
  3. Keluar dengan tadaffuq, curahan demi curahan

Hukum mani: suci dengan bentuk apa pun

Ciri madzi

  1. Cairan putih
  2. Encer
  3. Lengket
  4. Keluar ketika syahwat, tetapi tanpa merasakan syahwat
  5. Tidak tadaffuq
  6. Tidak membuat lemas
  • Haidh
  • Nifas, yaitu darah yang keluar setelah wiladah (melahirkan).

Yang menyebabkan mandi wajib adalah jika darah haidh dan nifas telah berhenti dan berniat untuk shalat.

  • Wiladah, melahirkan. Yaitu keluarnya anak walau tanpa ruthubah (basah) atau keluar dalam bentuk segumpal darah (‘alaqah) atau segumpal daging (mudhghah).

Wanita yang diambil anaknya saat melahirkan disebut qoobilah.

Pendapat mu’tamad (yang jadi pegangan dalam madzhab Syafi’i), wajib mandi karena wiladah (melahirkan) secara mutlak, walaupun tidak keluar darah bersamaan dengannya. Karena bayi yang keluar berasal dari mani. Dalam keadaan seperti ini pula, adanya darah menunjukkan belum sahnya mandi sampai darah tersebut berhenti. Lihat At-Tadzhib fi Adillati Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hlm. 27.

  • Al-Mawt (terpisahnya ruh dari jasad), yaitu dimaksud di sini adalah matinya muslim yang bukan syahid.

Seandainya ada bayi yang keguguran yang tidak tampak kehidupan, jika sudah mencapai umur janin empat bulan, wajib mandi secara kifayah.

Yang menyebabkan sunnah untuk mandi

  1. Mandi Jumat, mulai dari terbit fajar shadiq, dikhususkan pada orang yang menghadiri shalat Jumat saja.
  2. Mandi hari raya, bisa mulai dari pertengahan malam, tidak dikaitkan dengan yang menghadiri shalat hari raya (Id).
  3. Mandi untuk shalat istisqa (minta hujan)
  4. Mandi untuk shalat kusuf (gerhana)
  5. Mandi untuk orang kafir yang masuk Islam
  6. Mandi untuk orang gila dan orang yang hilang kesadaran yang baru sadar
  7. Mandi untuk orang yang memandikan jenazah

Yang lebih afdal untuk diperintahkan mandi: mandi Jumat, mandinya orang yang memandikan jenazah

Rukun Mandi

فُرُوْضُ الْغُسْلِ اثْنَانِ:
1- النِّيَّةُ
2- تَعْمِيْمُ الْبَدَنِ بِالمَاءِ.

[box type=”info” align=”” class=”” width=””]Fasal: Fardhu (rukun) mandi besar ada 2, yaitu niat dan mengguyur rata badan dengan air.[/box]

Yang dimaksud rukun adalah mandi tidaklah teranggap kecuali dengan melakukan dua hal rukun mandi, baik pada mandi wajib maupun mandi sunnah.

Dalil tentang perintah mandi adalah ayat,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub, maka mandilah …” (QS. Al-Maidah: 6).

Niat

[tie_list type=”lightbulb”]

  • Niat itu ada ketika mencuci bagian pertama dari badan
  • Niatan orang junub adalah mengangkat janabah (keadaan junubnya)
  • Niatan wanita haidh adalah mengangkat hadats haidh.
  • Niatan wanita nifas adalah mengangkat hadats nifas.
  • Niatan wiladah adalah mengangkat hadats wiladah (melahirkan).

[/tie_list]

Bisa cukup niatannya adalah berniat fardhul ghusli atau mengangkat hadats besar, atau mengangkat hadats. Niatannya tidak cukup niatan mau mandi atau bersuci saja.

Bagi yang punya uzur terus menerus (yang keluar mani terus menerus), niatan mandinya adalah istibah lish shalah.

Mengguyur Rata Air Ke Seluruh Badan

Asalnya disebut badan adalah jasad kecuali kepala. Namun, yang dimaksud di sini adalah seluruh jasad, kepala termasuk di dalamnya. Seluruh badan dalam mandi ini berarti harus terkena air.

Yang terkena air:

  • Kulit, kuku, rambut, yang luar, maupun yang dalam, walaupun lebat, termasuk kulit di bagian kemaluan laki-laki yang disunat.

 Sunnah Mandi

[tie_list type=”thumbup”]

  • Berdiri
  • Menghadap kiblat
  • Berwudhu
  • Membaca bismillah
  • Memperhatikan bagian ma’athif (lipatan) seperti ketiak, dua telinga, dan lipatan perut
  • Menggosok-gosok
  • Tiga kali basuhan
  • Berurutan dalam mengerjakan hal-hal berikut.

[/tie_list]

Berurutan

[tie_list type=”checklist”]

  • Mencuci kedua tangan,
  • Mencuci kemaluan,
  • Memasukkan air ke mulut,
  • Istinsyaq (menghirup air ke hidung),
  • Berwudhu sempurna,
  • Berniat, mengangkat hadats kecil walaupun tidak ada padanya,
  • Memperhatikan ma’athif (bagian lipatan),
  • Menyiram air pada kepala,
  • Menyiram bagian tubuh yang kanan,
  • Menyiram bagian belakang yang kanan,
  • Menyiram bagian tubuh yang kiri,
  • Menyiram bagian belakang yang kiri.

[/tie_list]

Yang Dimakruhkan Ketika Mandi

Sama seperti yang dimakruhkan pada wudhu. Yang dimakruhkan bagi orang junub yaitu tidur dan hubungan intim (jimak), makan dan minum sebelum wudhu dan mencuci kemaluan.

Semisalnya adalah untuk wanita yang selesai haidh atau nifas, ia makruh untuk tidur, makan, dan minum. Namun, kalau jimak bagi wanita yang selesai haidh dan nifas diharamkan, kecuali setelah wanita tersebut mandi wajib lalu melakukan hubungan intim.

Ini adalah dalil bolehnya menyetubuhi wanita setelah suci dari haidh setelah ia mandi wajib,

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci (mandi), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222)

Sumber : Syarh: Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja karya Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *