MuhammadAntariksa.com – Kitab Safinatun Najah Membahas tentang seputar wudhu dan hal-hal yang membatalkan wudhu
Pembatal Wudhu
نَوَاقِضُ الْوُضُوْءِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:
الأَولُ: الْخَارجُ مِنْ أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ، مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، رِيْحٌ أَوْ غَيْرُهُ، إِلاَّ الْمَنِيَّ.
الثَّانِيْ: زَوَالُ الْعَقْلِ بِنَوْمٍ أَوْ غَيْرِهِ،إِلاَّ قَاعِدٍ مُمَكِّنٍ مَقْعَدَتَهُ مِنَ الأَرْضِ.
الثَّالِثُ: الْتِقَاءِ بَشَرَتَيْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ كَبِيْرَيْنِ أَجْنَبِيَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ.
الرَّابعَ: مَسُّ قُبُلِ الآدَمِيِّ، أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِبَطْنِ الرَّاحَةِ، أِوْ بُطُوْنِ الأَصَابعِ.
[box type=”info” align=”” class=”” width=””]Fasal: Pembatal wudhu ada empat, yaitu [1] apapun yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu qubul (jalan depan/kemaluan) atau dubur (jalan belakang/ anus), baik kentut atau lainnya kecuali mani, [2] hilangnya akal dengan tidur atau lainnya kecuali tidurnya orang yang duduk sambil mengokohkan duduknya di tanah (lantai), dan [3] bersentuhannya kulit lelaki dengan perempuan yang kabiir (sudah punya syahwat) tanpa pembatas, dan [4] menyentuh qubul anak Adam atau lingkaran duburnya dengan telapak tangan atau jari-jarinya.[/box]
FAEDAH
Pembatal wudhu adalah sebab yang wudhu dianggap tidak ada lagi jika salah satu sebab itu muncul.
الأَولُ: الْخَارجُ مِنْ أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ، مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، رِيْحٌ أَوْ غَيْرُهُ، إِلاَّ الْمَنِيَّ.
{1} Apapun yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu qubul (Jalan depan/kemaluan) atau dubur (Jalan belakang/anus) baik kentut atau lainnya kecuali mani
Contoh yang keluar yang batal:
[tie_list type=”checklist”]
- Kencing
- Madzi
- Wadi
- Kentut
- Buang hajat
- Haidh
- Nifas
- Keputihan
- Darah
[/tie_list]
Catatan: Keluar mani itu bukan pembatal wudhu, tetapi diperintahkan untuk mandi.
الثَّانِيْ: زَوَالُ الْعَقْلِ بِنَوْمٍ أَوْ غَيْرِهِ،إِلاَّ قَاعِدٍ مُمَكِّنٍ مَقْعَدَتَهُ مِنَ الأَرْضِ.
{2} Hilangnya akal dengan tidur atau lainnya
Yang dimaksud adalah hilangnya tamyiz (tidak bisa lagi membedakan) secara yakin karena sebab tidur, gila, pingsan, penyakit ayan, mabuk, atau semacamnya.
Faedah: Akal itu disebut ‘aqlan karena mencegah pelakunya dari terjerumus dalam fawahisy (perbuatan keji).
KECUALI:
قَاعِدٍ مُمَكِّنٍ مَقْعَدَتَهُ مِنَ الأَرْضِ.
TIDURNYA ORANG YANG DUDUK SAMBIL MENGOKOHKAN DUDUKNYA DI TANAH (LANTAI), tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu.
Qaa’id mumakkin yang dimaksud adalah tidak menjauh antara tempat yang diduduki dan bokong orangnya.
Catatan: Kalau tidurnya sudah berat, lebih baik mengulangi wudhu.
الثَّالِثُ: الْتِقَاءِ بَشَرَتَيْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ كَبِيْرَيْنِ أَجْنَبِيَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ.
{3} Bersentuhannya kulit lelaki dengan prempuan sudah punya kecenderungan syahwat tanpa pembatas
Dalilnya adalah,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“atau menyentuh perempuan.” (QS. Al-Ma’idah: 6).
Syarat batalnya wudhu karena bersentuhan lawan jenis:
- Bersentuhan kulit, BUKAN RAMBUT, KUKU, GIGI.
- Antara laki-laki dan perempuan
- Kabiiroin, sama-sama sudah memiliki syahwat, ketertarikan pada lawan jenis, meskipun belum baligh
- Ajnabiyyah, tidak memiliki hubungan mahram karena nasab, persusuan, atau pernikahan.
- Tanpa pembatas
Yang menyentuh dan disentuh sama-sama batal.
الرَّابعَ: مَسُّ قُبُلِ الآدَمِيِّ، أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِبَطْنِ الرَّاحَةِ، أِوْ بُطُوْنِ الأَصَابعِ.
{4) Menyentuh qubul manusia atau lingkaran duburnya dengan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jarinya
Yang dimaksud adalah menyentuh bagian qubul secara jelas atau menyentuh lingkaran dubur seseorang walau dengan khuntsa (yang punya alat kemaluan ganda). Menyentuh yang dimaksud adalah dengan bagian dalam telapak tangan atau jari.
Orang yang menyentuh itulah yang batal wudhunya.
Ada beberapa hal yang tidak menjadi pembatal wudhu menurut ulama Syafi’iyah:
- Keluarnya darah dari badan karena beberapa riwayat menyebutkan bahwa para sahabat ada yang kena tusukan senjata, tetapi tetap melanjutkan rukuk dan sujud.
- Makan daging apa pun.
- Tertawa tidak membatalkan wudhu, tetapi membatalkan shalat.
- Muntah, dianggap seperti hukum keluar darah.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al-Majmu’ (2:63), “Hukum asal adalah tidak membatalkan wudhu sampai adanya dalil. Qiyas (analogi) dalam hal ini juga tidak berlaku karena ‘illah atau alasan hukum itu ada sifatnya tidak bisa dilogikakan (artinya: kita harus ikut pada dalil).”
Makan daging unta tidak membatalkan wudhu
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Inilah dalil yang paling kuat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu, walaupun pendapat ini sejatinya menyelisihi jumhur atau kebanyakan ulama.”
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; – أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْغَنَمِ? قَالَ: إِنْ شِئْتَ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْإِبِلِ ? قَالَ: نَعَمْ – أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku harus berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau mau.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah aku harus berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau menjawab, “Iya.” (HR. Muslim, no. 360)
Syarh: Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja karya Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri